Aku kagum dengannya. Ya, kagum sekali. Tidak pernah aku mendengar sepatah
kata pun keluhan dari bibir mungilnya. Bibir yang selalu tersenyum dalam
menghadapi apa pun yang Allah berikan. Susah, senang, haru, duka, bagaimana pun
perasaannya, beliau selalu menunjukkan ekspresi manisnya di manapun beliau
berada. Ya... aku baru tahu dengan ‘jelas’ bagaimana kisah hidupnya di masa
lalu yang penuh haru biru. ‘Menangis’. Hanya ekspresi itu yang bisa aku
utarakan ketika kami sedang melepas rindu via seluler. Beliaulah the
Greatest woman, wife, and mother. Ibuk.
Saat ini kami sedang mendapatkan masalah yang bisa dibilang cukuup berat
bagiku, namun menurutnya ini belum seberapa dari penderitaan orang-orang lain, bahkan penderitaannya di
masa lalu. Penderitaan? Bukan, menurutnya. Ini hanyalah ujian yang datang dari
Allah Swt sebagai jalan untuk menempuh derajat yang lebih tinggi di sisiNya. Setelah
berbincang cukup lama dan beliau berkata “sudah, ga usah nangis, ndhuk..ini
belum seberapa dari ujian yang Allah berikan kepada Ibuk di waktu Ibuk masih
seumuran kamu”. Kata-kata itu pelan, lembut, dan penuh perasaan. Entah dari
mana Ibuku tahu bahwa aku telah menitikkan air mata. Ibu mana sih yang tidak
paham akan perasaan buah hatinya?
“seumuran
aku? Maksud Ibuk? “ Aku pun meresponnya dengan pelan dan kaget. Yaa, aku belum
tahu cerita detailnya. Beliau biasanya hanya menceritakan kisahnya sepintas
lalu kepada anak-anaknya ketika kami sedang dirundung duka sebagai pelajaran
hidup.
“Iya, dulu Ibuk sudah merasakan ujian yang jauuh, jauuh, lebih, lebih,
dan leebiiih dari apa yang saat ini kita sedang alami, nak”. Aku semakin penasaran
dengan apa yang akan dikatakan olehnya. “maksud ibuk? Bukankah Ibuk dari dulu
selalu bahagia, dan tanpa kesedihan?”
“Nah itulah. Selama
ini kamu belum pernah melihat Ibuk mengeluh, kan? Ibuk selalu menikmati
pemberian Allah dengan hati lapang, baik itu susah, senang, atau apa pun. Itu yang membuatmu beranggapan
bahwa masa lalu ibuk selalu diliputi kebahagiaan” Ibuk menjawab dengan
penuh semangat dan aku yakin, pasti orang-orang di rumah sedang menyaksikan senyumannya yang
sungguh menawan itu.
Yaps. Dalam kamus hidupnya tidak ada kata “mengeluh”. Sungguh! Aku tidak
berbohong! Berbanding terbalik denganku yang selalu putus asa, penuh
kekhawatiran, dan keluhan-keluhan yang selalu membuatku resah. “Iya,
Subhanallah sekali, buuk? Sekali pun aku belum pernah melihatnya. Kok Ibuk bisa
si?” Aku menjawabnya.
“Pasti kamu tahu kalau dulu Mbah Putri (nenek) sakit-sakitan ketika ibuk
masih kuliah? “ aku mengiyakannya. “Petualangan hidup ibuk yang subhanallah
dahsyatnya dimulai dari situ”. Aku terdiam dan membiarkannya untuk melanjutkan
ceritanya.
Singkat cerita, selaku anak pertama dari beberapa saudara beliaulah yang
bertanggungjawab atas segala kebutuhan rumah, adik yang masih kecil-kecil, karena
kasihan dengan ayahnya yang repot dengan profesinya sebagai seorang guru.. Seminggu
sekali beliau harus pulang dari Semarang tempat kuliahnya. Jarak rumah dengan
kampus pun tidak bisa dibilang dekat, hampir memakan waktu 5 jam jika ditempuh
dengan kendaraan umum. Hmm.... so hard. sakit struck yang diderita
nenekku memang membuat ibuku lebih mengerti makna kehidupan. Beliau rela
mengorbankan kuliahnya demi mengurus ibunya yang keluar masuk rumah sakit,
karena ayahnya tidak mungkin mengurus segala sesuatu sendiri.
Kala itu juga adik cowoknya yang terakhir harus dioperasi, karena terkena
sebuah penyakit dan membuatnya harus disunat (maaf) di bawah umur 5 tahun. Seperti
adat di desanya, maka keluarga ibuku
menggelar syukuran. Ibuku lah yang mengurus semuanya. Perjuangan tanpa kenal
lelah beliau jalani. Mengurus 2 pasien di rumah, kuliah, dan urusan lainnya pun beliau lakoni dengan suka cita
walaupun harus mengorbankan dirinya sendiri. 2 nilai E beliau
dapatkan ketika di akhir semester 5. Awalnya, beliau sangat shock dengan
itu, namun setelah beliau sadar apa penyebabnya, semangat hidup muncul lagi. Berbakti
pada orang tua dan mengharap ridho Illahi. Only that! Yaps, hanya itu
tujuannya. Semata-mata hanya
untuk kebahagiaan orang-orang
yang disayanginya, tanpa peduli
seberapa menderitanya beliau
mengorbankan masa-masa muda yang harusnya beliau habiskan dengan teman-teman
sebayanya.
Dengan menyandang nilai E
di kedua mata kuliahnya, otomatis masa lulusnya tidak bisa tepat waktu. Ya,
itu yang dialami ibuku. Bukan keluhan yang beliau utarakan, hanya keyakinan
yang selama ini menjadi pegangan bahwa “pasti ada kemudahan di balik kesusahan”.
Dengan sekuat tenaga beliau
memperjuangkan kuliahnya tanpa harus melupakan kewajibannya sebagai seorang
anak.
“kamu tahu keajaiban apa yang ibuk dapatkan setelah ibuk lulus?” aku
masih diam seribu bahasa mendengarkan kisahnya. “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” Arti
dari ayat ke-6 surat ke-94 di dalam kitab suci umat Islam itu yang kini aku dengarkan.
“Lalu?” hanya kata
itu yang keluar dari bibirku karena sudah tidak sabar lagi mendengarkan
lanjutan kisahnya. “Alhamdulillah, dengan kasih sayang Allah, tidak sampai
setahun setelah ibuk lulus kuliah, ibuk diangkat menjadi PNS dan ditempatkan di
tempat yang subhanallah ibuk tidak sangka-sangka. Di sekolah yang sangat
dekat dengan rumah dan hanya berjarak 3 km dari rumah. Yang ibuk kagumi,
mengapa Allah menakdirkan ibuk di tempat yang begitu dekat dengan rumah ibuk,
sedangkan teman-teman ibuk diterima di tempat yang jauh-jauh, bahkan sampai ada
yang di luar pulau. Waktu itu tes CPNS masih belum dipisah-pisah perdaerah”.
“Keren banget, buk. Mungkin itu buah kesabaran ibuk selama ini. Belum
menikah pun udah jadi PNS. Waooow!! Suaminya pun pria yang sangat hebat dan menjadi suami idaman
wanita-wanita lain. Akhirnya Bapak juga ditempatkan di sekolah yang sama dengan
Ibuk (so sweet, ga sih? hehe)” Pujian pun aku sampaikan padanya. Oleh
karena itu ibuku selalu bilang “Allah tidak akan memberikan ujian kepada
umatNya di luar batas kemampuan umatNya”. “Makanya, nak.. ujian yang kita alami
saat ini belum seberapa dari anugerah yang selalu Allah berikan kepada kita.
Jadikan Surat Al-Insyirah sebagai pengingat kita agar tidak selalu terpuruk dan
menyalahkan Yang Maha Kuasa
ketika kita sedang merasa kesulitan. Doakan juga keselamatan, kesehatan,
kebahagiaan untuk Bapak, Ibuk, saudara-saudara kita, Guru-guru kita dan umat
muslim di seluruh dunia, ya?”. Lemah lembut ia mengataknnya. Ujian datang silih
berganti bukan menjadikan kita lalai, melainkan kebahagiaan hidup yang lebih muliah
yang akan kita dapatkan. So touch!
“Insya Allah, ibuk.
Aku tidak akan mengeluh kok J”.
Sosok penyayang, penyabar itulah yang selalu beliau tunjukkan dalam mengurusi rumah tangganya. Tidak ada
keluhan yang selalu kami lihat di istana kecil kami, meskipun terkadang anak-anaknya sangat
bandel. Semoga Ibuk dan Bapak selalu diberi ketabahan, kekuatan, dalam
setiap melangkah. Aamiin” We
love yo so much, mom…. Peluk cium dari kami J.
Inspiratif! Tidak kusangka, kisahnya lebih indah dibandingkan novel-novel
fiktif dan beberapa film
yang menceritakan perjuangan seorang kakak demi kebahagiaan keluarganya. Ternyata,
benar-benar ada tokoh
yang sebenarnya di dunia nyata. Aku bangga menjadi Anak dari Wanita terhebat
itu.
Yeaaaaaaaaaaah.
Itulah kisah seorang anak dengan ibunya yang begitu menginspirasi. So, masih
tetap mengeluh? Tidak akan :D. Semoga Menginspirasi.
Komentar
Posting Komentar