Langsung ke konten utama

Tak Sebanding

Sudah menjadi rahasia umum tanggal 22 Desember merupakan hari spesial bagi para sosok wanita yang telah melahirkan buah hatinya. Kenapa hari itu jatuh pada tanggal 22 pun aku kurang tahu, tapi ya sudahlah ikuti saja apa yang sudah ada (hehe). Pukul 5 pagi kukirimkan pesan singkat ke nomer wanita yang paling aku sayangi di seberang provinsi sana.
Assalamu’alaykum, Ibuk. Selamat Hari Ibu ya, buk. Terima kasih telah mendidik kami dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan. Tetaplah menjadi ibuk kebanggaan bagi mas, Rifqi, Hatta’, dan aku tentunya. Semoga pengorbanan dan perjuangan ibuk dibalas di surga-Nya kelak. Aamiin. Salam Kecup untuk ibukku yang shalihah ini.
Kurang sopan memang aku mengucapkannya melalui sms saja, tapi mau bagaimana lagi? Untuk menelepon ibuk, bapak, atau orang rumah lainnya di pagi hari kurang pas rasanya. Mereka pasti sedang sibuk dengan rutinitas masing-masing, masak, bersih-bersih rumah, siap-siap  pergi sekolah, maupun yang lainnya. So, jarang sekali aku bertelepon ria dengan orang-orang yang aku sayangi itu di pagi hari, kecuali jika sedang dalam keadaan mendesak. Memang kurang puas jika hanya melalui sms, akan kuusahakan malam nanti untuk meneleponnya setelah beliau santai lepas dari kesibukan hariannya.
Tak lama kemudian handphoneku berdering. Balasan dari orang yang aku tunggu pun segera mengisi inboxku.
Wa’alaykumussalam wr. wb. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin. Ibuk sudah bangga dengan semangat dan kasih sayang anak-anak. Salam kecup juga ya, ndhuk.
Mak jleb. Bangga? Pertanyaan besar muncul dalam benakku. Prestasi apa yang sudah aku torehkan sehingga ibuk dan bapak bangga kepadaku? Semandiri apa aku ini sehingga mereka merasa puas dengan keadaanku saat ini? Entah itu sindiran atau pun ungkapan dari lubuk hatinya. Seratus persen aku yakin kalau hal tersebut adalah ungkapan kejujuran dari seorang ibu kepada jantung hatinya, walaupun apa yang diberikan oleh anaknya hanya sekuku hitam dari apa yang anaknya banggakan terhadap ibuk maupun bapaknya.
Anak manja yang belum bisa berpikir dewasa, minta ini itu layaknya bocah SD, uang habis selalu minta. Lantas apa yang bisa dibanggakan? Sebutir prestasi pun belum aku raih. Aku iri dengan mereka yang bisa membuat orang tuanya menitikkan air mata bahagia di atas panggung di depan ribuan orang karena prestasi mereka. Mereka yang bisa menghasilkan uang sendiri dan tak perlu kiriman uang tiap bulannya juga membuatku merasa kasihan pada ibuk dan bapak karena aku belum bisa seperti mereka, sehingga menjadi beban untuk kedua orang tuaku.
Sejenak aku berpikir, bukan sesuatu yang muluk-muluk yang mereka inginkan. Kedua Orang tuaku hanyalah ingin agar anak-anaknya hidup dengan mempunyai wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas, dalam arti lain menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh agar berguna bagi nusa, bangsa, dan agama tentu dengan ridho Allah swt. Hidup sukses dan tetap rendah hati. Simple memang, tapi dari lubuk hati yang terdalam aku juga ingin membuat bangga mereka karena perjuanganku. Semoga akan terwujud ke depannya, Aamiin.
Alhasil, malam harinya aku tak jadi meneleponnya, karena kepalaku begitu pusing dan demam sejak mengikuti acara kampus sejak pagi hingga sore. Pusing pun tak hilang juga. Beruntunglah aku mempunyai teman yang sangat perhatian padaku, sehingga aku tak kesepian. Merekalah pengganti keluargaku di kota rantau ini. Demam yang awalnya aku anggap enteng itu ternyata membuatku merasakan malam yang begitu panjang dengan penuh kegelisahan. Ya, walaupun aku bisa memejamkan mata, namun beberapa menit sekali aku membuka mata dengan pindah posisi agar bisa tidur dengan nyaman dan rasa nyeri di kepalaku ini hilang. Sudahlah, aku urungkan untuk menelepon ibuk. Aku takut ketika aku meneleponnya beliau menjadi tahu kalau aku sedang tak enak badan.
Pukul 03.00 dini hari kutuliskan sebuah ucapan ulang tahun untuk ibuk, tepatnya pada tanggal 23 Desember tepat satu hari setelah Hari Ibu. Ucapan sederhana dan permintaan maafpun aku utarakan melalui pesan singkat dengan keadaanku yang belum membaik.
Assalamu’alaykum, ibukku sayang. Selamat Hari Lahir ya, buk. Semoga ibuk selalu sehat, panjang umur, selalu dilancarkan rezekinya dan dalam lindungan Allah swt. Maaf, aku, mas, Rifqi, dan Hatta’ belum bisa membanggakan ibuk dan bapak sedikit pun. Salam sayang :*.
Ibuk pun langsung membalasnya dengan penuh kemanisan “Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin, terima kasih anakku atas do’anya, semoga menjadi anak shalihah dan membanggakan orang tua. Salam kecup kembali”
Air mata pun menetes ketika aku mengamini do’a itu. Tak terasa ibukku sudah tak muda lagi. Di umurnya yang ke-48 ini, beliau masih tetap bekerja keras dari pagi sampai siang di tempat beliau mendidik siswa-siswinya, disusul sore harinya dengan mengajar les IPA di Bimbingan Belajar, malam hari pun dilanjutkan dengan membantu belajar anak-anak SD dan SMP di rumah kami. Tak cukup sampai di situ, hari Minggu pun yang harusnya beliau istirahat di rumah, beliau pun masih tetap mengajar di Bimbel dari pukul 07.00 hingga pukul 10.30. Ok, tadinya aku berpikir seselesainya dari Bimbel, ibuk akan pulang dan dilanjutkan istirahat sejenak. Tidak. Tidak sama sekali. Ibuk dan bapak pergi ke Magelang untuk menjenguk adikku, Hatta’ yang ada di Pesantren. Rasa kangen pada anaknya tak dapat mereka bendung, apalagi adikku itu anak terakhir yang notabene masih begitu kecil untuk hidup mandiri, karena masih kelas 7 (1 SMP). Hal itulah yang membuat kedua orang tuaku selalu mengunjunginya sekitar 2-3 kali dalam sebulan. Karena jarak rumah kami yang tidak bisa dibilang dekat, dengan memakan waktu dua jam maka mereka sampai di rumah malam hari dan esok harinya sudah hari Senin, sehingga harus kembali ke sekolah memenuhi kewajibannya. Lantas kapan istirahatnya? Entahlah, itu hebatnya ibuk selalu bisa menyelesaikan semuanya demi membantu suami dan kesuksesan anak-anaknya tanpa melupakan semua kewajibannya di rumah sebagai istri dan ibu yang baik, dengan dukungan suami dan keempat anaknya tentunya. Great Woman you are mom...
Lanjut lagi.... harusnya di umur segitu ibuk sudah lebih santai dalam bekerja, hanya duduk manis di rumah dengan bapak, menunggu anak-anaknya pulang ke rumah dengan menerima pemberian anak-anaknya penuh kebanggaan. Hmm... semua itu masih dalam ilusi, tak seperti yang sudah dirasakan tetangga kanan kiri rumahku yang bebannya sudah berkurang. Believe me, I’ll be like them. Tak cuma aku, tentunya mas dan kedua adikku nanti.
Fokus kembali di waktu selanjutnya. Rasa sakit yang tak bisa kupendam ini mendorongku untuk menelepon mereka yang di rumah agar mereka tahu aku sedang sakit di sini. Penuh pertimbangan memang, takut mereka kepikiran dengan keadaanku ini. Benar... waktu demi waktu mereka menanyakan bagaimana keadaanku. Menyesal rasanya telah mengabari mereka, pun jika aku tak mengabarinya aku pasti nantinya akan disalahkan (iyalah, namanya juga orang tua). Ternyata hadiah untuk ibukku hanyalah kabar kesedihan dariku, walaupun beliau sudah mendapatkan kejutan dari bapak dan ketiga saudaraku yang tak bisa menyembuhkan rasa khawatirnya atas diriku.
Singkatnya, aku sakit hingga 6 hari diiringi demam di malam hari. Bapak dan ibuk selalu memantau. Mereka pun meminta maaf karena tak bisa merawatku di sini. Banyak pekerjaan yang harus mereka selesaikan, walaupun saat itu adalah Hari Libur Sekolah. Aku pun memakluminya dan mengatakan bahwa aku sudah baik-baik saja di sini. Ternyata apa yang aku katakan berbanding terbalik dengan kenyataan, aku positif Demam Berdarah setelah melakukan cek darah di hari keenam diantar beberapa teman kuliahku yang begitu baik hati.
Hari itu Kamis malam, badanku lemas rasanya setelah mengetahui hasil cek darah dan harus rawat inap. Bagaimana dengan UAS terakhirku? Harus dirawat di mana? Bisakah aku izin sebentar dari Rumah Sakit untuk mengikuti ujian lalu kembali lagi ke Rumah sakit? Alhasil aku tak mengikuti uas terakhir dan harus terbaring di rumah sakit tanpa sosok kedua orang tuaku dan hanya ditemani oleh teman dan saudaraku. Tak mungkin juga aku menyuruh bapak dan ibuk untuk datang mengurusku, karena jarak yang tidak bisa dibilang dekat dan kewajiban mereka yang harus diselesaikan di sana. Aku hanya meyakinkan pada mereka bahwa aku baik-baik saja, meskipun mereka tak yakin dengan apa yang kukatakan.
Sudah kuduga, bapak dan ibuk akhirnya datang dengan muka prihatin karena keadaanku. Jujur, aku sangat bahagia dengan kedatangan mereka, di sisi lain aku juga kasihan, kenapa mereka harus bersusah payah datang ke sini dan meninggalkan kedua adikku di rumah? Yang penting keadaanku sudah membaik dan hanya butuh asupan nutrisi yang keluar dari selang infus agar tubuhku tak lemas. Bukan orang tua jika mereka menelantarkan anaknya begitu saja. Terima kasih bapak, ibuk. Empat malam aku di Rumah Sakit dan ditemani oleh kedua orang tua, teman-teman, dan saudara yang datang silih berganti. Ibukku pulang lebih dulu, karena harus mengurus adikku untuk siap-siap berangkat ke Ponpes hari Minggu sore. Beliau hanya semalam di Rumah Sakit, rasa lelah setelah semalaman di perjalanan tak beliau hiraukan. Sesampainya di rumah menyiapkan kebutuhan adikku dan sorenya mengantarkannya, disusul pagi hari menjalankan kewajibannya sebagai pendidik. Begitulah hebatnya bapak dan ibuk selalu mahir membagi-bagi tugas agar anak-anaknya tak kekurangan kasih sayang dan perhatian. Selalu adil dalam hal apa pun, tanpa peduli lelahnya mereka dalam mengurus anak-anaknya. Satu malam sebelum aku keluar dari Rumah Sakit, bapak ikut sakit hingga seminggu setelah aku pulang ke rumah. Kasihan rasanya. Beliau pasti lelah mengurusku, tanpa beliau hiraukan. Hingga masku ingin datang ke RS untuk menggantikan menungguiku pun tak diizinkannya. Hmm... the best father you’re pak.  
Mungkin kisahku ini hanyalah cerita tidak penting yang hanya menghabis-habiskan waktu kalian untuk membacanya, atau bahkan untuk membacanya pun enggan (ups, su’udzan). Bagiku inilah kisah inspiratif yang mengajarkan kita tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik dan menjadi anak yang taat pada orang tuanya. Seberapa pun pengorbanan kita untuk mereka, tak bisa membalas jerih payah mereka untuk kita. Aku juga tak tahu, apakah aku akan bersikap seperti mereka ketika suatu saat nanti mereka sakit atau apa pun apakah aku akan merawatnya dengan baik dan penuh keikhlasan?. Hanya do’a dan pengabdian yang aku lakukan agar mereka selalu tersenyum bahagia karena kita, walaupun apa yang kita lakukan Tak Sebanding dengan pengorbanan mereka selama ini. Sekali lagi, Terima kasih Ibuk, terima kasih Bapak, sembah sungkem saking kawula. Maaf, buk.. Hari Kelahiranmu kusuguhi dengan sakitku. Maaf, pak.. aku selalu merepotkan bapak dan ibuk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Seberapa Berani Anda Membela Islam"

Judul : Seberapa Berani Anda Membela Islam Penulis : Na’im Yusuf Tebal Buku : 288 Halaman Penerbit : Maghfirah Pustaka Tahun Terbit : 2016 Orang-orang yang beriman harus sadar bahwa kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kebatilan akan selalu bertentangan. Untuk itu, dibutuhkan orang-orang yang beriman yang menyadari posisinya. Demikianlah juga dengan keteguhan hati, jihad, dan kekuatan jiwa harus dimiliki agar kita sebagai umat Islam bisa melepaskan diri dari konspirasi yang telah dirancang untuk menghancurkan Muslim dan membasmi asas ajaran Islam dari akar-akarnya. Kemuliaan yang sebenarnya, yakni jika keberanian bersemayam dalam diri seorang Muslim, yang mana ia akan menolak kehidupan yang hina, tidak mau dilecehkan dan direndahakn dalam keadaan apa pun. Melalui buku yang berisi 13 karakter pemberani ini, penulis menguraikan dengan rinci mengenai ciri-ciri seorang pemberani, bagaimana agar menjadi pemberani, bentuk-bentuk keberanian, dan tantangan yang harus dihadapi par

Ghirah-Cemburu karena Allah

Ghirah bukan hanya milik orang Islam yang sering dicap fanatik oleh bangsa Barat karena kebertahanannya dalam menjaga muruah pada diri, keluarga, maupun agamanya. Namun, ghirah atau syaraf (Arab) juga milik setiap jiwa manusia, bahkan masing-masing daerah atau negara memiliki istilah sendiri untuk menyebutnya. Ghirah juga milik Mahatma Gandhi—yang terkenal berpemahaman luas dan berprikemanusiaan tinggi—yang sampai bersedia melakukan apa saja untuk mencegah adik Yawaharlal Nehru, Viyaya Lakshmi Pandit, dan anaknya, Motial Gandhi, keluar dari agama Hindu. Ghirah atau cemburu ada dua macam, yakni terhadap perempuan dan agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang lain, lalu orang itu kamu pukul, pertanda padamu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabimu, dan kitabmu dihina, kamu berdiam diri saja, jelaslah ghirah telah hilang dari dirimu. Jika ghirah atau siri—dalam bahasa orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja—tidak dimiliki lagi oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijaj

Cahaya Hikmah DwiNA

Aku yang harus pergi lebih dulu dari kalian. Doa terbaik mengiringi kepergianku nanti untuk kalian sahabat yang selalu ada untukku. Kalian rekan yang paling mengerti sekaligus kakak yang pandai memperlakukanku penuh cinta. Suatu saat aku akan rindu suasana ini. Suatu pagi aku akan mengenang masa menyambut mentari dalam balutan kasih dan panggilan lembut untuk menghadap-Nya bersama kalian. Keriuhan menjelang keberangkatan kita ke kantor, kebersamaan kita ke kantor, kepulangan kita dari kantor, kelezatan menikmati makan malam yang selalu ala kadarnya yang penting tidak lapar dan bahagia (ini lebay) hingga keautisan kita mengurus diri masing-masing selepas Isya adalah memori yang mungkin akan susah hilang nantinya. Ratih yang ‘gila’ sekali dengan buku dan menghabiskan waktu malamnya di kamar untuk membaca buku atau menonton film kesukaannya, siap-siap saja sepulang dari kantor tidak ada lagi teman yang membersamaimu membeli sayur dan lauk apa yang akan kalian santap untuk makan malam da