Langsung ke konten utama

Senyum, Yuk...

“Niku mawon, Ndhuk? Sanese napa malih, mboten ngresaake jajanan?” Aiiih, seketika saya lemas mendengar kalimat yang diucapkan ibu penjual sayur depan komplek tempat tinggal kami. Saya yang sudah cukup lama tinggal di ibu kota (anggap saja Depok itu Jakarta, he) langsung senyum-senyum sendiri mendengar perkataan ibu sayur pagi kemarin. Kapan ya terakhir kali saya diperlakukan demikian oleh seorang penjual. Lima tahun tinggal di tempat bertemunya bermacam suku menjadikan adat dan budaya di sana berbeda jauh dengan tempat baru saya saat ini. Banyak sih orang halus di sana, apalagi Sunda, tapi.. tidak semua halus (hiks). Biar sudah lama tinggal di sana, tidak jarang saya masih sering bete jika dibentak atau dijudesin oleh ibu-ibu/mbak-mbak penjual apalagi kalo orang yang hanya ketemu di jalan ga sengaja nyenggol lalu ngomel-ngomel (mungkin ini yang dimaksud “Ibu kota itu keras”). Serasa masih culture shock seperti saat awal-awal saya ‘hijrah’ kala itu.
“Yogyakarta, orangnya alus-alus, jangan harap bakal nemu orang cablak lagi di sana, Hik..” kata seseorang saat itu. Alus yang dimaksud mulai dari kosa kata berbahasanya lebih halus dari ngapak, suaranya lembut, dan tindak tanduknya lembah manah. Bagaikan mendarat di planet lain, apa yang dikatakan olehnya ternyata benar adanya. Orang yang ramah-ramah, anak-anak yang santun, kearifan lokal yang masih terjaga, dan yang penting harga makanan murah-murah rasanya bahagia to the max akhirnya bisa tinggal di sini—dulu sempat ingin kuliah di Jogja, tapi tidak kesampaian —dan akhirnya saya menyelipkan doa agar bisa tinggal di kota gudeg ini, emmm meskipun di pinggirannya setidaknya masuk propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menambah rasa syukur saya pada Rabb Sang penentu takdir.
Sayangnya, keseharian saya yang sudah tertular cuek dengan gaya hidup sebelumnya mengharuskan saya agar melatih diri untuk lebih ramah dan selalu pasang tampang sumeh saat bertemu orang-orang. Walaupun saya asli Jawa dan sudah sedikit terlatih dengan hal demikian, tapi ternyata hal itu perlahan berkurang karena budaya metropolis yang bisa dibilang mulai merasuki jiwa yang aslinya ramah (haha). Kota kelahiran saya memang bukan tempat orang yang alus-alus (apalagi bahasanya ngapak), namun keramahan dan kesopanan masih terjaga dengan baik di sana, sehingga perlahan saya kembali seperti semula mencoba menjadi ramah dan kembali menggunakan bahasa Krama Inggil yang kualitasnya sudah abal-abal karena jarang dipraktikkan. Hanya perlu pembiasaan dan menanggalkan bahasa Indonesia sedikit demi sedikit, meskipun bahasa nasional itu masih sering keluar tanpa sengaja.
Beberapa kali pertemuan yang telah saya ikuti dalam tiga minggu terakhir ini tidak mengurangi rasa kagum saya akan keistimewaan kota yang dipimpin oleh seorang sultan ini. Tidak jarang saya menemui mereka menyapa lembut orang yang baru saja kenal—termasuk saya sebagai orang baru— dengan nada anggun sembari diiringi beberapa pertanyaan khas perkenalan. Bukankah hal demikian merupakan bentuk penghargaan yang menandakan bahwa kita telah diterima dalam lingkaran mereka?
Pelan tapi pasti izinkan saya untuk belajar bersama kalian, sadar atau tidak sadar saya tetap rindu kota Belimbing itu dengan segala keunikan dan macam khas yang ada di sepanjang jalan rayanya. Akhirnya, jangan bosan menjadi pendatang karena menjadi orang baru banyak tantangan dan bikin hidup kita ga monoton (kwkwkwkwk). Selanjutnya, entah takdir akan membawa saya ke mana lagi, yang penting jalani semua hal baru dan peran ini dengan baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Seberapa Berani Anda Membela Islam"

Judul : Seberapa Berani Anda Membela Islam Penulis : Na’im Yusuf Tebal Buku : 288 Halaman Penerbit : Maghfirah Pustaka Tahun Terbit : 2016 Orang-orang yang beriman harus sadar bahwa kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kebatilan akan selalu bertentangan. Untuk itu, dibutuhkan orang-orang yang beriman yang menyadari posisinya. Demikianlah juga dengan keteguhan hati, jihad, dan kekuatan jiwa harus dimiliki agar kita sebagai umat Islam bisa melepaskan diri dari konspirasi yang telah dirancang untuk menghancurkan Muslim dan membasmi asas ajaran Islam dari akar-akarnya. Kemuliaan yang sebenarnya, yakni jika keberanian bersemayam dalam diri seorang Muslim, yang mana ia akan menolak kehidupan yang hina, tidak mau dilecehkan dan direndahakn dalam keadaan apa pun. Melalui buku yang berisi 13 karakter pemberani ini, penulis menguraikan dengan rinci mengenai ciri-ciri seorang pemberani, bagaimana agar menjadi pemberani, bentuk-bentuk keberanian, dan tantangan yang harus dihadapi par

Ghirah-Cemburu karena Allah

Ghirah bukan hanya milik orang Islam yang sering dicap fanatik oleh bangsa Barat karena kebertahanannya dalam menjaga muruah pada diri, keluarga, maupun agamanya. Namun, ghirah atau syaraf (Arab) juga milik setiap jiwa manusia, bahkan masing-masing daerah atau negara memiliki istilah sendiri untuk menyebutnya. Ghirah juga milik Mahatma Gandhi—yang terkenal berpemahaman luas dan berprikemanusiaan tinggi—yang sampai bersedia melakukan apa saja untuk mencegah adik Yawaharlal Nehru, Viyaya Lakshmi Pandit, dan anaknya, Motial Gandhi, keluar dari agama Hindu. Ghirah atau cemburu ada dua macam, yakni terhadap perempuan dan agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang lain, lalu orang itu kamu pukul, pertanda padamu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabimu, dan kitabmu dihina, kamu berdiam diri saja, jelaslah ghirah telah hilang dari dirimu. Jika ghirah atau siri—dalam bahasa orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja—tidak dimiliki lagi oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijaj

Cahaya Hikmah DwiNA

Aku yang harus pergi lebih dulu dari kalian. Doa terbaik mengiringi kepergianku nanti untuk kalian sahabat yang selalu ada untukku. Kalian rekan yang paling mengerti sekaligus kakak yang pandai memperlakukanku penuh cinta. Suatu saat aku akan rindu suasana ini. Suatu pagi aku akan mengenang masa menyambut mentari dalam balutan kasih dan panggilan lembut untuk menghadap-Nya bersama kalian. Keriuhan menjelang keberangkatan kita ke kantor, kebersamaan kita ke kantor, kepulangan kita dari kantor, kelezatan menikmati makan malam yang selalu ala kadarnya yang penting tidak lapar dan bahagia (ini lebay) hingga keautisan kita mengurus diri masing-masing selepas Isya adalah memori yang mungkin akan susah hilang nantinya. Ratih yang ‘gila’ sekali dengan buku dan menghabiskan waktu malamnya di kamar untuk membaca buku atau menonton film kesukaannya, siap-siap saja sepulang dari kantor tidak ada lagi teman yang membersamaimu membeli sayur dan lauk apa yang akan kalian santap untuk makan malam da