Istirahat siang telah usai pertanda naskah di layar komputer siap untuk diotak-atik demi hasil yang indah, enak, dan menarik dibaca para penikmat buku. Namun, nyatanya fisik belum siap untuk kembali menguras energinya meski perut sudah dipenuhi dengan sebungkus ketoprak plus es teh yang segar, dan punggung pun sudah sempat berbaring memanfaatkan sisa waktu selepas shalat Zhuhur tadi.
“Mungkin para ibu yang bekerja di rumah enak ya, siang-siang begini bisa tidur membersamai anak-anaknya. Tidak perlu berlelah-lelah mengumpulkan rupiah. Tugasnya hanya mengurus suami, anak, dan rumah. Puas dari tidur, tinggal memandikan anak-anak, dan persiapan menyambut suami pulang dari menjemput rezeki. Ooh, indahnya...” Sepintas pikiran tersebut keluar dalam benak saya.
Lamunan tersebut lalu saya abaikan sambil membuka-buka file perusahaan yang ternyata tema kali ini mendukung pengandaian saya baru saja. Di sana dijelaskan tentang perempuan yang berkarier dari rumah. Pada dasarnya, hukum perempuan berkarier, baik dilakukan dari rumah maupun di luar rumah, adalah mubah yang artinya tidak wajib, tidak terpuji, tidak pula tercela. Namun, hukum asal ini dapat berubah mengikuti kondisi yang menyertai pekerjaan tersebut. Hukum bekerja dari rumah mengikuti hukum bekerja secara umum, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Masing-masing dari kelima hukum tersebut tergantung dari keterdesakan dibutuhkannya perempuan di sebuah profesi, manfaat dari jenis pekerjaan, manfaat dari hasil pekerjan, keamanan dan keselamatan, izin dari suami, dan lain sebagainya. *diambil dari buku “Muslimah Sukses Tanpa Stress” terbitan Gema Insani Press*
Saya, yang kala itu memang sudah proses menuju menikah dan sudah menyiapkan surat pengunduran diri dari perusahaan semakin teguh untuk menjadi ‘penunggu’ rumah suami setelah status berubah menjadi seorang istri, terutama saat sudah dikaruniai amanah oleh Allah SWT nantinya.
Singkat cerita, setelah akad nikah mengguncang langit dan saya serta suami resmi menjadi pasangan, alhamdulillah sebulan kemudian dipercaya oleh Allah SWT untuk menjadi calon orang tua, dan sekarang saatnya pembuktian lamunan saya kala itu. Benarkah apa yang saya andai-andaikan kala itu????
-Bersambung-
“Mungkin para ibu yang bekerja di rumah enak ya, siang-siang begini bisa tidur membersamai anak-anaknya. Tidak perlu berlelah-lelah mengumpulkan rupiah. Tugasnya hanya mengurus suami, anak, dan rumah. Puas dari tidur, tinggal memandikan anak-anak, dan persiapan menyambut suami pulang dari menjemput rezeki. Ooh, indahnya...” Sepintas pikiran tersebut keluar dalam benak saya.
Lamunan tersebut lalu saya abaikan sambil membuka-buka file perusahaan yang ternyata tema kali ini mendukung pengandaian saya baru saja. Di sana dijelaskan tentang perempuan yang berkarier dari rumah. Pada dasarnya, hukum perempuan berkarier, baik dilakukan dari rumah maupun di luar rumah, adalah mubah yang artinya tidak wajib, tidak terpuji, tidak pula tercela. Namun, hukum asal ini dapat berubah mengikuti kondisi yang menyertai pekerjaan tersebut. Hukum bekerja dari rumah mengikuti hukum bekerja secara umum, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Masing-masing dari kelima hukum tersebut tergantung dari keterdesakan dibutuhkannya perempuan di sebuah profesi, manfaat dari jenis pekerjaan, manfaat dari hasil pekerjan, keamanan dan keselamatan, izin dari suami, dan lain sebagainya. *diambil dari buku “Muslimah Sukses Tanpa Stress” terbitan Gema Insani Press*
Saya, yang kala itu memang sudah proses menuju menikah dan sudah menyiapkan surat pengunduran diri dari perusahaan semakin teguh untuk menjadi ‘penunggu’ rumah suami setelah status berubah menjadi seorang istri, terutama saat sudah dikaruniai amanah oleh Allah SWT nantinya.
Singkat cerita, setelah akad nikah mengguncang langit dan saya serta suami resmi menjadi pasangan, alhamdulillah sebulan kemudian dipercaya oleh Allah SWT untuk menjadi calon orang tua, dan sekarang saatnya pembuktian lamunan saya kala itu. Benarkah apa yang saya andai-andaikan kala itu????
-Bersambung-
Komentar
Posting Komentar