Langsung ke konten utama

Inspiratif


Aku kenal benar dengan sosoknya. Sosok pejuang keras tanpa batas. Apa yang dimiliki orang tuanya tak pernah membuatnya manja dalam mengenyam pendidikan. Dimulai sejak lulus SD beliau sudah jauh dari orang tuanya. Nyantri di salah satu pondok pesantren yang ada pusat kota kabupatennya hingga lulus sekolah menengah atas beliau lakukan. Perjuangannya yang penuh keprihatinan selalu beliau kisahkan pada keempat anaknya. Aku paham benar, tidak mudah menjadi beliau. Status menjadi anak bontot bukan menjadi alasannya untuk selalu bermanja-manja dengan mbah kakung dan mbah putriku. Iya, beliaulah bapakku yang super hebat :D
Hidup prihatin sudah ia jalani semenjak kecil, sehingga saat mulai berpisah dengan orang tuanya di pondok beliau sudah terbiasa. Makan dengan apa pun sudah biasa. Selain karena orang dahulu suka makan dengan sederhana, bapakku ini memang kelewat prihatin. Bayangkan, beliau menukar beras kiriman dari rumah dengan ‘thiwul’ dengan alasan agar bisa mendapat porsi yang lebih banyak, sehingga bisa hidup jauh lebih irit. Berbeda dengan zaman sekarang, harga nasi thiwul malah lebih mahal ketimbang beras.
Lulus SMA pun beliau melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi yang ada di kabupaten sebelah. Ia rela hanya memakai sepeda tanpa mesin warisan ayahnya. Setiap pagi pukul lima beliau sudah rapi dengan baju dan sepeda yang setia menemaninya. Tak peduli penampilan teman yang lebih oke darinya. Pulang kuliah malam sudah terbiasa baginya. Satu hal yang selalu beliau torehkan dalam setiap ceritanya “Wong bejo lan ulet luwih menang tinimbang wong pinter, le, nduk” kalimat itu memang benar dengan apa yang bapakku alami saat ini, alhamdulillah perjuangan masa-masa sulit ketika menempuh pendidikan terbayarkan dengan hal yang lebih baik. Love you, bapak. Engkau sosok hebat di mata kami. Rasa sayangmu pada kami tak ternilai pokoknya. Selalu sabar menghadapi kami, penuh pengertian, setia, dan sifat baik pun selalu kau sandang. Cinta dan kasihmu pada ibuk juga kau cerminkan dengan membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, tak pandang itu pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh istri maupun kedua anak perempuanmu. Bapak, tak salah kau meneladani Rasulullah saw dalam melangkah dan membina keluarga kita. Semoga Allah selalu menyayangi dan melindungi keluarga kita J Pesanmu kepada kami untuk hidup sederhana selalu kami ingat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Seberapa Berani Anda Membela Islam"

Judul : Seberapa Berani Anda Membela Islam Penulis : Na’im Yusuf Tebal Buku : 288 Halaman Penerbit : Maghfirah Pustaka Tahun Terbit : 2016 Orang-orang yang beriman harus sadar bahwa kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kebatilan akan selalu bertentangan. Untuk itu, dibutuhkan orang-orang yang beriman yang menyadari posisinya. Demikianlah juga dengan keteguhan hati, jihad, dan kekuatan jiwa harus dimiliki agar kita sebagai umat Islam bisa melepaskan diri dari konspirasi yang telah dirancang untuk menghancurkan Muslim dan membasmi asas ajaran Islam dari akar-akarnya. Kemuliaan yang sebenarnya, yakni jika keberanian bersemayam dalam diri seorang Muslim, yang mana ia akan menolak kehidupan yang hina, tidak mau dilecehkan dan direndahakn dalam keadaan apa pun. Melalui buku yang berisi 13 karakter pemberani ini, penulis menguraikan dengan rinci mengenai ciri-ciri seorang pemberani, bagaimana agar menjadi pemberani, bentuk-bentuk keberanian, dan tantangan yang harus dihadapi par

Ghirah-Cemburu karena Allah

Ghirah bukan hanya milik orang Islam yang sering dicap fanatik oleh bangsa Barat karena kebertahanannya dalam menjaga muruah pada diri, keluarga, maupun agamanya. Namun, ghirah atau syaraf (Arab) juga milik setiap jiwa manusia, bahkan masing-masing daerah atau negara memiliki istilah sendiri untuk menyebutnya. Ghirah juga milik Mahatma Gandhi—yang terkenal berpemahaman luas dan berprikemanusiaan tinggi—yang sampai bersedia melakukan apa saja untuk mencegah adik Yawaharlal Nehru, Viyaya Lakshmi Pandit, dan anaknya, Motial Gandhi, keluar dari agama Hindu. Ghirah atau cemburu ada dua macam, yakni terhadap perempuan dan agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang lain, lalu orang itu kamu pukul, pertanda padamu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabimu, dan kitabmu dihina, kamu berdiam diri saja, jelaslah ghirah telah hilang dari dirimu. Jika ghirah atau siri—dalam bahasa orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja—tidak dimiliki lagi oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijaj

Cahaya Hikmah DwiNA

Aku yang harus pergi lebih dulu dari kalian. Doa terbaik mengiringi kepergianku nanti untuk kalian sahabat yang selalu ada untukku. Kalian rekan yang paling mengerti sekaligus kakak yang pandai memperlakukanku penuh cinta. Suatu saat aku akan rindu suasana ini. Suatu pagi aku akan mengenang masa menyambut mentari dalam balutan kasih dan panggilan lembut untuk menghadap-Nya bersama kalian. Keriuhan menjelang keberangkatan kita ke kantor, kebersamaan kita ke kantor, kepulangan kita dari kantor, kelezatan menikmati makan malam yang selalu ala kadarnya yang penting tidak lapar dan bahagia (ini lebay) hingga keautisan kita mengurus diri masing-masing selepas Isya adalah memori yang mungkin akan susah hilang nantinya. Ratih yang ‘gila’ sekali dengan buku dan menghabiskan waktu malamnya di kamar untuk membaca buku atau menonton film kesukaannya, siap-siap saja sepulang dari kantor tidak ada lagi teman yang membersamaimu membeli sayur dan lauk apa yang akan kalian santap untuk makan malam da