Langsung ke konten utama

Gelap (yang) Membawa Indah


Malam ini entah sudah purnama yang keberapa. Aku tak mau menghitung dengan menyamakan usiaku yang hampir setengah abad. Kau tahu kenapa? Karena tak setiap purnama datang aku menjumpainya apalagi menyempatkan waktu untuk menikmati suasananya. Akan tetapi, purnama kali ini entah mengapa lain dari biasanya. Aku tak sedang duduk di jalan Malioboro menyaksikan beragam aktivitas para pelancong yang sibuk berbelanja. Aku juga tidak sedang berada di Pendopo Keraton menyaksikan gadis-gadis ayu Jogja berlatih menari. Aku juga tidak sedang di Candi Prambanan menyaksikan pementasan Ramayana atau Arjuna. Malam ini aku hanya di sini, di halaman tempatku melepas lelah, hanya duduk-duduk saja di antara daun pintu yang sengaja aku buka, sedikit menikmati angin malam tanpa secangkir capuccino yang aku sruput atau pun segelas cokelat hangat.
Aku hanya duduk santai saja, melihat sinar bulan yang sedang purnama, menyaksikan gemerlap bintang, dan bersihnya biru langit tanpa awan. Aku juga merasa mala ini terasa lebih indah dari biasanya, atau hanya perasaanku saja? Di antara kekagumamku pada suasana malam ini, aku berbicara pada diriku sendiri peri hal inilah yang akan aku ceritakan padamu kawan. Semoga kau sudi membacanya. Untukmu, engkau boleh membaca ceritaku ini dengan ditemani secangkir kopi atau teman terkasihmu.
Aku hanya bertanya pada diri sendiri, apa sebenarnya yang membuat purnama begitu indah? Apakah sinar rembulan yang terang, terbitnya bulan yang terlihat penuh, birunya langit, atau karena gemerlap bintang yang menghiasi langit? Lama kupikirkan apa penyebabnya, mungkin karena diri ini terlalu bodoh sehingga susah menemukan jawabannya. Aku berharap, jiwa ini menemukan sebuah jawaban yang menggugah semua orang, tapi sayang saya hanya orang biasa. Sempat berpikir untuk menyeduh secangkir kopi demi sebuah inspirasi, tapi perut sedang kurang bersahabat. Ah, daripada terlalu lama berpikir kuputuskan saja jawabanku itu.
Terangnya sinar rembulan, penuhnya bulan kala purnama, birunya langit, dan gemerlapnya bintang-bintang di langit menurutku bukanlah penyebab purnama ini menjadi indah. Bukan, bukan mereka itu penyebabnya! Mereka itu pelengkap. Ya, pelengkap kesempurnaan purnama. Lima belas hari sebelum purnama terbitlah penyebabnya. Saat bumi gelap dengan sempurna, dan rembulan tak nampak sama sekali, malam yang gelap itulah yang menyebabkan purnama istimewa. Gelap gulita dan terang benderang adalah dua hal yang saling bertolak belakang, dan seringkali menjadikan sesuatu itu menjadi istimewa. Sempurna, salah satunya perihal purnama malam ini.
Boleh sedikit aku kaitkan dengan realitas kehidupan ini, kawan? Paling tidak agar tulisan ini bisa lebih panjang agar seruputan kopimu yang masih banyak tidak sia-sia. Akan tetapi, aku tahu engkau hanya diam, diam yang membuatmu terus membacanya. Aku merenungi diri bahwa hidup ini juga seperti rotasi rembulan, dari gelap pekat menuju ke terang benderang dan kembali lagi ke gelap pekat demi sebuah kesempurnaan. Boleh juga kalau kita memaknainya seperti perputaran roda. Roda itu akan menjadi roda jika dia berputar. Jika tidak berputar, diam, roda itu tidak berfungsi, dan boleh jadi tidak bisa dikatakan roda.
Bukankah hidup ini juga begitu, kawan? Dia harus berputar demi sebuah kesempurnaan hidup. Jika hidup tidak berputar, dia akan stagnan, mengalami kejenuhan dan tidak ada kisah perjuangan. Sehingga tidak jarang kita menemui orang yang bosan dalam hidup meski berada pada kondisi nyaman atau sebaliknya akan merasa berputus asa karena kesulitan yang terus menerus. Hidup memang harus berputar, jika dia tidak berputar bisa jadi kita hanya sedang meniti hidup, yang melewatinya begitu saja tanpa mangambil makna sedikit pun dari perjalanan hidup kita masing-masing.
Semakin beranjak malam, purnama semakin indah, semakin ingin menemaninya hingga hilang di esok fajar, tapi tubuh sudah menuntut haknya untuk berebah. Kurebahkan tubuhku di pembaringan sembari menelisik takdir esok, seperti apa perjalananku selanjutnya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Seberapa Berani Anda Membela Islam"

Judul : Seberapa Berani Anda Membela Islam Penulis : Na’im Yusuf Tebal Buku : 288 Halaman Penerbit : Maghfirah Pustaka Tahun Terbit : 2016 Orang-orang yang beriman harus sadar bahwa kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kebatilan akan selalu bertentangan. Untuk itu, dibutuhkan orang-orang yang beriman yang menyadari posisinya. Demikianlah juga dengan keteguhan hati, jihad, dan kekuatan jiwa harus dimiliki agar kita sebagai umat Islam bisa melepaskan diri dari konspirasi yang telah dirancang untuk menghancurkan Muslim dan membasmi asas ajaran Islam dari akar-akarnya. Kemuliaan yang sebenarnya, yakni jika keberanian bersemayam dalam diri seorang Muslim, yang mana ia akan menolak kehidupan yang hina, tidak mau dilecehkan dan direndahakn dalam keadaan apa pun. Melalui buku yang berisi 13 karakter pemberani ini, penulis menguraikan dengan rinci mengenai ciri-ciri seorang pemberani, bagaimana agar menjadi pemberani, bentuk-bentuk keberanian, dan tantangan yang harus dihadapi par

Ghirah-Cemburu karena Allah

Ghirah bukan hanya milik orang Islam yang sering dicap fanatik oleh bangsa Barat karena kebertahanannya dalam menjaga muruah pada diri, keluarga, maupun agamanya. Namun, ghirah atau syaraf (Arab) juga milik setiap jiwa manusia, bahkan masing-masing daerah atau negara memiliki istilah sendiri untuk menyebutnya. Ghirah juga milik Mahatma Gandhi—yang terkenal berpemahaman luas dan berprikemanusiaan tinggi—yang sampai bersedia melakukan apa saja untuk mencegah adik Yawaharlal Nehru, Viyaya Lakshmi Pandit, dan anaknya, Motial Gandhi, keluar dari agama Hindu. Ghirah atau cemburu ada dua macam, yakni terhadap perempuan dan agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang lain, lalu orang itu kamu pukul, pertanda padamu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabimu, dan kitabmu dihina, kamu berdiam diri saja, jelaslah ghirah telah hilang dari dirimu. Jika ghirah atau siri—dalam bahasa orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja—tidak dimiliki lagi oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijaj

Cahaya Hikmah DwiNA

Aku yang harus pergi lebih dulu dari kalian. Doa terbaik mengiringi kepergianku nanti untuk kalian sahabat yang selalu ada untukku. Kalian rekan yang paling mengerti sekaligus kakak yang pandai memperlakukanku penuh cinta. Suatu saat aku akan rindu suasana ini. Suatu pagi aku akan mengenang masa menyambut mentari dalam balutan kasih dan panggilan lembut untuk menghadap-Nya bersama kalian. Keriuhan menjelang keberangkatan kita ke kantor, kebersamaan kita ke kantor, kepulangan kita dari kantor, kelezatan menikmati makan malam yang selalu ala kadarnya yang penting tidak lapar dan bahagia (ini lebay) hingga keautisan kita mengurus diri masing-masing selepas Isya adalah memori yang mungkin akan susah hilang nantinya. Ratih yang ‘gila’ sekali dengan buku dan menghabiskan waktu malamnya di kamar untuk membaca buku atau menonton film kesukaannya, siap-siap saja sepulang dari kantor tidak ada lagi teman yang membersamaimu membeli sayur dan lauk apa yang akan kalian santap untuk makan malam da