Mentari, bolehkah aku sejenak berbicara padamu?
Engkau itu sama seperti diriku, diciptakan oleh Dia Sang Pemilik Alam Semesta.
Tapi kita berbeda, meski kita sama diciptakan.
Setiap hari engkau tak pernah lelah memberi, sinar berjuta guna darimu selalu kau pancarkan.
Sedang aku, kadang di kala pagi sudah mengeluh,
jangankan untuk berbagi, mengurus diri aku kadang merasa sungkan.
Tapi kita berbeda, meski kita sama diciptakan.
Engkau selalu bersinar indah di pagi hari, dinanti milyaran orang, bahkan jutaan lainnya menantimu dari puncak-puncak terindah di belahan dunia.
Sedang aku, di pagi pun seringkali melangkah tanpa senyum, tanpa sapa, dan tanpa kesyukuran.
Tapi kita berbeda, meski kita sama diciptakan.
Tak hanya pagimu yang indah, akhir harimu pun juga sangat indah. Di antara lelahmu, masih engkau hadirkan sinar kuning keemasan yang dinikmati milyaran orang dan jutaan orang di tepian pantai.
Sedang aku, hanya wajah letih, kuyu, dan langkah gontai yang terhias di diri.
Tapi kita berbeda, meski sama diciptakan.
Saat terik sinarmu sangat panas, banyak orang memarahimu, tapi engkau tak pernah berhenti bersinar.
Sedang aku, seringkali hanya ucapan sepele dari orang lain, tersinggung dan merendahkan diri.
Tapi kita berbeda, meski sama diciptakan.
Engkau tak pernah lalai dari kewajibanmu, tak ada cerita mentari berhenti bersinar, meski keberadaanmu abadi sepanjang masa.
Sedang aku, masih saja lalai akan kewajibanku,
meskipun aku tahu hidupku tak akan kekal, dan esok atau lusa aku tak melihat sinarmu lagi.
Tapi kita berbeda, meski sama diciptakan.
Harusnya aku malu padamu, engkau tak pernah lelah apalagi menyerah.
Tak pernah marah meski kadang dianggap membuat susah.
Tak pernah letih memberi, meski hidupmu kekal abadi.
Wahai Sang Pencipta,
Aku tahu mengapa Engkau hadirkan Mentari setiap hari, agar aku banyak belajar darinya.
Mentari, aku tahu, masih saja kita berbeda, meski sama diciptakan.
Karena itu, jangan pernah berhenti untuk mengajariku.
Engkau itu sama seperti diriku, diciptakan oleh Dia Sang Pemilik Alam Semesta.
Tapi kita berbeda, meski kita sama diciptakan.
Setiap hari engkau tak pernah lelah memberi, sinar berjuta guna darimu selalu kau pancarkan.
Sedang aku, kadang di kala pagi sudah mengeluh,
jangankan untuk berbagi, mengurus diri aku kadang merasa sungkan.
Tapi kita berbeda, meski kita sama diciptakan.
Engkau selalu bersinar indah di pagi hari, dinanti milyaran orang, bahkan jutaan lainnya menantimu dari puncak-puncak terindah di belahan dunia.
Sedang aku, di pagi pun seringkali melangkah tanpa senyum, tanpa sapa, dan tanpa kesyukuran.
Tapi kita berbeda, meski kita sama diciptakan.
Tak hanya pagimu yang indah, akhir harimu pun juga sangat indah. Di antara lelahmu, masih engkau hadirkan sinar kuning keemasan yang dinikmati milyaran orang dan jutaan orang di tepian pantai.
Sedang aku, hanya wajah letih, kuyu, dan langkah gontai yang terhias di diri.
Tapi kita berbeda, meski sama diciptakan.
Saat terik sinarmu sangat panas, banyak orang memarahimu, tapi engkau tak pernah berhenti bersinar.
Sedang aku, seringkali hanya ucapan sepele dari orang lain, tersinggung dan merendahkan diri.
Tapi kita berbeda, meski sama diciptakan.
Engkau tak pernah lalai dari kewajibanmu, tak ada cerita mentari berhenti bersinar, meski keberadaanmu abadi sepanjang masa.
Sedang aku, masih saja lalai akan kewajibanku,
meskipun aku tahu hidupku tak akan kekal, dan esok atau lusa aku tak melihat sinarmu lagi.
Tapi kita berbeda, meski sama diciptakan.
Harusnya aku malu padamu, engkau tak pernah lelah apalagi menyerah.
Tak pernah marah meski kadang dianggap membuat susah.
Tak pernah letih memberi, meski hidupmu kekal abadi.
Wahai Sang Pencipta,
Aku tahu mengapa Engkau hadirkan Mentari setiap hari, agar aku banyak belajar darinya.
Mentari, aku tahu, masih saja kita berbeda, meski sama diciptakan.
Karena itu, jangan pernah berhenti untuk mengajariku.
Komentar
Posting Komentar