Terlalu polos. Maapin, yak?
“Anak-anak, bulan Maret ini kita tamasya ke
Jogja, ya?”
seruan guru kelas V membuat kami sontak kaget dan
loncat kegirangan. Ya, bagi kami anak kampung, Jogja merupakan sesuatu yang
spesial dan yang harus kami datangi. Entah mengapa penantian selama 3 bulan
rasanya begitu lama. Hari yang ditunggu tiba juga, senang sekali rasanya,
begitu juga denganku dan masku yang kala itu kelas VI juga tak mau kalah dari
teman-teman yang lain minta ini itu kepada Ibuk sebagai bekal, walaupun kami
sudah beberapa kali pergi ke kota pelajar itu, namun pergi bersama teman-tema merupakan
sesuatu yang spesial.
Perjalanan selama 3 jam yang seru membuahkan
kedekatan antarakelas V dan VI yang kami isi dengan menyanyi, tidur, bermain
tebak-tebakan, hingga mendengarkan cerita seorang guru kami, sebut saja pak
Budiman. Pak Budi menceritakan tentang pengalaman beliau ketika mendampingi
anak didiknya di SMP melihat salah dua dari mereka ada yang kepergok berduaan,
beberapa guru langsung menegur mereka.
“Kalian tahu siapa orang-orang tersebut?”
“Mboten,
pak” alias tidak tahu.
“Yaaaa.... saat ini mereka sudah menikah dan
mempunyai anak yang ada di sini”
“Siapa, siapa, siapa?” bunyi bisik-bisik
terdengar sayu mengganggu rasa kantukku.
“Siapa hayo? Mereka
bapak ibuknya ****” (sensor)
Tawa anak-anak
memenuhi bus “Whahahahahaha....... ternyata”
Tawa kami tiba-tiba
dihentikan oleh teriakan seorang anak “Sudah. Aku malu tau”
Sepintas, beberapa kami langsung diam dan
mengerti apa maksud dari cerita guru kami itu. Intinya, tidak boleh pacaran!
Aku yang kala itu sok tahu dan belum mengerti secara pasti apa itu pacaran
langsung senyum-senyum sambil melihat Yuna dan Tia yang duduk di sebelah kanan
kiriku.
Singkat cerita, sampailah kami di objek pertama,
yaitu Candi Borobudur. Terdapat mitos yang beredar bawa siapa pun yang bisa
memegang bagian anggota tubuh dari patung Sidharta yang ada di dalam bangunan
candi-candi kecil, maka segala keinginannya akan tercapai. Antara percaya dan
tidak, kami berusaha untuk meraihnya, walaupun hal itu belum tentu
kebenarannya. Aku dan teman-teman hanya ingin seruan, dan benar salah satu dari
kami tidak ada yang bisa meraihnya. Mustahil memang tangan pendek seukuran anak
SD bisa memegangnya. Perasaan kecewa sempat kami rasakan yang kemudian hilang
karena nasihat guru agama Islam.
"Jangan percaya mitos, bisa-bisa hidup kalian
hanya diwarnai oleh mitos-mitos yang membuat kalian enggan berusaha
maksimal"
Dari Borobudur kami baranjak ke Keraton
Kasultanan Yogyakarta tempat tinggal dan rumah Dinas Sultan Hamengkubuwono
(Gubernur DIY). Di sana kami bisa melihat patung-patung yang menyimbolkan
upacara-upacara adat yang diadakan oleh keluarga keraton dan warga sekitar
setiap tahunnya.
Kebun Binatang Gembira Loka selanjutnya tujuan
kami. Miris sekali melihat kondisi hewan di sana. Unta yang kurus lah, Jerapah
yang tinggal patung lah, Kuda Nil yang
hanya dua ekor lah. Mengapa bisa demikian? Entahlah, mugkin karena saking
menipisnya bantuan dari dalam atau luar negeri, dan kepunahan hewan yang begitu
mempengaruhi. Uniknya, setiap aku pergi ke kebun binatang untuk ke sekian
kalinya, pasti datang hujan. Cukuplah kami hanya dudu di warung makan yang kala
itu tutup diiringi dengan bunyi lapar perut kami. Sangat kecewa dengan hujan,
akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Museum Dirgantara dengan berat hati.
Rupanya Museu Dirgantara mengobati rasa kecewaku
dan teman-teman. Betapa tidak? Di sana pesawat tempur dan perlengkapan perang
sebelum kemedekaan ditata rapi dan dideskripsikan secara gambling dan jelas.
Pengalaman pertama menaiki pesawat pun aku rasakan di sana, walaupun hanya
pesawat berhenti, namun kami tetap bahagia karena diiringi angan-angan menaiki
pesawat beneran yang kami bayangkan dan akan dicapai nantinya. Usai sudah
perjalanan kami.
Timbul pertanyaan kembali di lubuk hatiku. Akan
ke manakah Perjalananku selanjutnya? Jakarta yang ku inginkan. Nyampah, yak? Gapapa
deh yang penting aku plong udah nyeritain :D
Komentar
Posting Komentar