Langsung ke konten utama

It's Me


Entah pada siapa aku harus mengadu. Pada Ibuk? Memang sebaiknya... tapi aku tak ingin menjadi anak manja yang sedikit-sedikit mengadu padanya. Pada Bapak? Sudah terlalu banyak beban yang beliau tanggung. Mas atau kedua adikku, mungkin bisa. Tapi apakah mereka mau memaklumi masalah apa yang sebenarnya sedang aku hadapi saat ini? Terlalu sepele memang masalahku, namun aku tak bisa menyepelekan ini terus menerus. Aku capek... jujur!
Tak pantas memang untuk seumuran anak 19 tahun harus bersikap layaknya anak TK seperti ini. Malu aku pada keponakanku yang imut itu jika aku harus menangis. Hanya ini yang bisa aku ungkapkan untuk menyimpan rapi semua hal yang selama ini membebaniku. Aneh memang, tapi terlalu bingung memulainya dari mana.  
Aku iri pada mereka yang bisa cuek akan gerak gerik orang. Iri pada mereka yang mau cerita selengkap mungkin tentang apa yang akan dan telah mereka ceritakan. Seratus persen iri. Kenapa aku tidak? Aku yang terlalu tertutup. Tertutup untuk hal-hal tertentu saja. Bukan hanya tertutup, mungkin ada rasa malu juga. Ketidakpedeanku membuatku kurang bisa mengontrol emosi hingga orang-orang yang ada di sekitarku terkena imbasnya. Mungkin aku bisa lega jika aku bisa bercerita seleluasa mungkin kepada orang-orang terdekatku dan orrang lain pun tak akan kena semprotan egoisku. Sungguh sulit. Bahkan sulit sekali. Lebih sulit dari memberi nasihat pada teman-teman curhatku. Satu hal yang menjadikan alasan mengapa aku tak mau bersikap terbuka. Perasaan dan reputasi orang lain yang selalu aku pikirkan. Aku hanya tak ingin menjelek-jelekkan orang-orang tertentu di mata orang lain. Entah itu keburukan atau bahkan kelebihan.
Menangis. Hanya itu yang bisa yang bisa aku lakukan. Tempat sunyi yang aku cari dan aliran air mata yang aku butuhkan ketika bayang-bayang masalah muncul pada diriku. Maaf kepada kamu semua yang sudah aku sakiti, kepada kalian yang menjadi korban kekesalanku. Dan siapa pun yang membuatku kesal, sebelum kalian meminta maaf, kalian sudah aku maafkan. Satu hal yang harus kalian tahu, saling menghargai itu yang terpenting. Satu lagi, aku salut kepada kalian yang selalu mau berbagi kisah kepadaku.

Biarkan Depok ini menjadi saksi bisu akan diriku. 
201212

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Seberapa Berani Anda Membela Islam"

Judul : Seberapa Berani Anda Membela Islam Penulis : Na’im Yusuf Tebal Buku : 288 Halaman Penerbit : Maghfirah Pustaka Tahun Terbit : 2016 Orang-orang yang beriman harus sadar bahwa kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kebatilan akan selalu bertentangan. Untuk itu, dibutuhkan orang-orang yang beriman yang menyadari posisinya. Demikianlah juga dengan keteguhan hati, jihad, dan kekuatan jiwa harus dimiliki agar kita sebagai umat Islam bisa melepaskan diri dari konspirasi yang telah dirancang untuk menghancurkan Muslim dan membasmi asas ajaran Islam dari akar-akarnya. Kemuliaan yang sebenarnya, yakni jika keberanian bersemayam dalam diri seorang Muslim, yang mana ia akan menolak kehidupan yang hina, tidak mau dilecehkan dan direndahakn dalam keadaan apa pun. Melalui buku yang berisi 13 karakter pemberani ini, penulis menguraikan dengan rinci mengenai ciri-ciri seorang pemberani, bagaimana agar menjadi pemberani, bentuk-bentuk keberanian, dan tantangan yang harus dihadapi par

Cahaya Hikmah DwiNA

Aku yang harus pergi lebih dulu dari kalian. Doa terbaik mengiringi kepergianku nanti untuk kalian sahabat yang selalu ada untukku. Kalian rekan yang paling mengerti sekaligus kakak yang pandai memperlakukanku penuh cinta. Suatu saat aku akan rindu suasana ini. Suatu pagi aku akan mengenang masa menyambut mentari dalam balutan kasih dan panggilan lembut untuk menghadap-Nya bersama kalian. Keriuhan menjelang keberangkatan kita ke kantor, kebersamaan kita ke kantor, kepulangan kita dari kantor, kelezatan menikmati makan malam yang selalu ala kadarnya yang penting tidak lapar dan bahagia (ini lebay) hingga keautisan kita mengurus diri masing-masing selepas Isya adalah memori yang mungkin akan susah hilang nantinya. Ratih yang ‘gila’ sekali dengan buku dan menghabiskan waktu malamnya di kamar untuk membaca buku atau menonton film kesukaannya, siap-siap saja sepulang dari kantor tidak ada lagi teman yang membersamaimu membeli sayur dan lauk apa yang akan kalian santap untuk makan malam da

Ghirah-Cemburu karena Allah

Ghirah bukan hanya milik orang Islam yang sering dicap fanatik oleh bangsa Barat karena kebertahanannya dalam menjaga muruah pada diri, keluarga, maupun agamanya. Namun, ghirah atau syaraf (Arab) juga milik setiap jiwa manusia, bahkan masing-masing daerah atau negara memiliki istilah sendiri untuk menyebutnya. Ghirah juga milik Mahatma Gandhi—yang terkenal berpemahaman luas dan berprikemanusiaan tinggi—yang sampai bersedia melakukan apa saja untuk mencegah adik Yawaharlal Nehru, Viyaya Lakshmi Pandit, dan anaknya, Motial Gandhi, keluar dari agama Hindu. Ghirah atau cemburu ada dua macam, yakni terhadap perempuan dan agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang lain, lalu orang itu kamu pukul, pertanda padamu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabimu, dan kitabmu dihina, kamu berdiam diri saja, jelaslah ghirah telah hilang dari dirimu. Jika ghirah atau siri—dalam bahasa orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja—tidak dimiliki lagi oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijaj