Langsung ke konten utama

Seperti Angin dan Cemara


Cemara,…
Entah sejak kapan tanaman ini banyak menghiasi tepian pantai.
Aku pernah menyaksikan mereka dengan berbaris rapi dan tampak menghijau di
sebuah bibir pantai di Jogja.
Pernah juga aku temui mereka hanya bertumbuh sendiri tak berteman.

Cemara,…
Walau di musim panas ranting-rantingmu tampak mengering,
engkau masih tetap indah, meski tak hijau dan tampak kecoklatan dari kejauhan.
Engkau juga pohon yang unik.
Aku tak tahu apakah yang ada di setiap pucuk rantingmu itu adalah daun, atau ujung rantingmu yang menghijau,
Yang pasti ujung rantingmu itu lembut dan menyejukkan.

Cemara,…
Pohonmu sebetulnya tidak begitu rindang,
engkau malah tak sanggung menahan tetesan air hujan,
tapi keberadaanmu yang seringkali aku temui di pinggir pantai, menjadi pilihan yang tepat untuk berteduh.
Apakah ini karena engkau diuntungkan dengan tempat keberadaanmu?
Tapi pendapatku itu karena engkau pintar menempatkan dirimu,
hingga disukai banyak orang.

Cemara,...
Pernah juga aku melihat sepasang merpati yang sedang bercanda di tepi pantai, terbang berkejaran karena tiba-tiba hujan turun.
Ternyata mereka tak memilih berteduh di gubug yang hangat,
tapi justru bertengger di rantingmu yang tak berdaun itu.
Mereka justru menikmati tetes hujan yang jatuh,
saling mengepakkan sayap dan berkejaran ke sana ke mari.
Sungguh aneh,
mereka lebih memilih ranting-rantingmu daripada hamparan pasir yang

Cemara,...
Apa engkau tidak menyadari bahwa pilihanmu hidup di tepian pantai harus berhadapan dengan hembusan angin?
Angin yang berhembus setiap hari entah di kala pagi atau sore hari, bahkan seringkali sepanjang hari.
Jika hembusan angin sepoi, ranting-rantingmu bergoyang perlahan, kau seolah mengikuti iramanya.
Jika angin berhembus sedang, engkau pun bergoyang mengikuti hembusannya, begitu pun juga jika hembusan angin sangat kencang, kelakuanmu masih tetap sama,
pohon dan rantingmu tetap bergoyang mengikuti hembusan angin.
Dan engkau masih tetap sama di mataku,
sebagai tanamanan penghias pantai.

Cemara,...
Apakah engkau punya pesan untuk angin, yang kadang merepotkan?
Hembusannya seringkali menjatuhkan beberapa ujung ranting hijau, mengacak-acak susunan barisanmu, bahkan terkadang hembusan angin mematahkan rantingmu.
Aku yakin pasti ada pesan-pesanmu untuknya,
meski kau hanya diam, dan engkau kadang lebih suka diam, biar aku sampaikan saja ya?!

Untukmu, angina,…
Engkau kadang berhembus sepoi, hembusanmu menyejukkan, membuat indah gerakan gemulai ranting-ranting cemara.
Engkau tahu, cemara sangat menyukai itu.
Hembusan sepoimu membuat anak-anak burung berlompatan di ranting cemara dengan bahagia.
Beberapa manusia juga suka berteduh sembari menyandarkan pundaknya di cemara itu sembari melihat indahnya ombak samudera.
Tahukan engkau, angin?
Cemara sangat suka sekali hembusan sepoimu!

Angin,...
Setelah mengembara di tengah samudera yang luas,
engkau kadang berhembus dengan sangat kencang, entah apa yang kau hadapi di luar sana.
Tak bisakan engkau berhembus agak pelan?
Tidak kasihan kah kau pada cemara?
Meski dia hanya berdiri di tepian pantai,
terik panas, dan waktunya untuk anak-anak burung dan sepasang merpati juga melelahkan.

Angin,…
Hembusanmu yang seringkali tak terduga, tak jarang merepotkan cemara.
Apa engkau tak kasihan jika ranting-rantingnya patah dan ujung rantingnya yang menghijau berguguran?
Engkau masih punya angin sepoi yang lebih cemara sukai dan rindukan daripada hembusan kencangmu!

Angin,...
Tapi aku juga bisa memahami jika hembusan kencangmu itu juga kau peruntukkan untuk cemara,
Semata-semata agar ranting-ranting yang sudah mati berjatuhan, dan ujung hijau ranting cemara yang sudah menguning dan layu,
berganti dengan yang baru dan hijau.
Tapi tak bisa kah engkau menitipkan pesan lewat nada hembusanmu agar cemara tahu dan tidak marah?
Karena sungguh cemara adalah pohon unik.

Kini, untukmu, angin dan cemara,...
Kalian berada di tepian pantai hidup berdampingan, saling melengkapi.
Hiduplah dengan harmonis, demi kami, anak-anak burung dan sepasang merpati yang butuh kalian sebagai tempat beteduh dan bersenda gurau.

Komentar

  1. alhamdulillah hikma nulis lagi :D semangat hikma :D keep up the goodwork :D

    BalasHapus
  2. Doakan ya, Na... biar semangat nulis lagi.
    *Critanya ga mau ketinggalan dari Hanna yang tiap hari blognya rame dikunjungin pembaca dan selalu ada update tulisan kece :D

    BalasHapus
  3. Amin :D Alhamdulillah makasih pujiannya :D

    BalasHapus
  4. sama-sama, Hana :)
    terima kasih untuk email-email dr Hana yg keren banget. Belum kelar semua tp bacanya. hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Seberapa Berani Anda Membela Islam"

Judul : Seberapa Berani Anda Membela Islam Penulis : Na’im Yusuf Tebal Buku : 288 Halaman Penerbit : Maghfirah Pustaka Tahun Terbit : 2016 Orang-orang yang beriman harus sadar bahwa kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kebatilan akan selalu bertentangan. Untuk itu, dibutuhkan orang-orang yang beriman yang menyadari posisinya. Demikianlah juga dengan keteguhan hati, jihad, dan kekuatan jiwa harus dimiliki agar kita sebagai umat Islam bisa melepaskan diri dari konspirasi yang telah dirancang untuk menghancurkan Muslim dan membasmi asas ajaran Islam dari akar-akarnya. Kemuliaan yang sebenarnya, yakni jika keberanian bersemayam dalam diri seorang Muslim, yang mana ia akan menolak kehidupan yang hina, tidak mau dilecehkan dan direndahakn dalam keadaan apa pun. Melalui buku yang berisi 13 karakter pemberani ini, penulis menguraikan dengan rinci mengenai ciri-ciri seorang pemberani, bagaimana agar menjadi pemberani, bentuk-bentuk keberanian, dan tantangan yang harus dihadapi par

Cahaya Hikmah DwiNA

Aku yang harus pergi lebih dulu dari kalian. Doa terbaik mengiringi kepergianku nanti untuk kalian sahabat yang selalu ada untukku. Kalian rekan yang paling mengerti sekaligus kakak yang pandai memperlakukanku penuh cinta. Suatu saat aku akan rindu suasana ini. Suatu pagi aku akan mengenang masa menyambut mentari dalam balutan kasih dan panggilan lembut untuk menghadap-Nya bersama kalian. Keriuhan menjelang keberangkatan kita ke kantor, kebersamaan kita ke kantor, kepulangan kita dari kantor, kelezatan menikmati makan malam yang selalu ala kadarnya yang penting tidak lapar dan bahagia (ini lebay) hingga keautisan kita mengurus diri masing-masing selepas Isya adalah memori yang mungkin akan susah hilang nantinya. Ratih yang ‘gila’ sekali dengan buku dan menghabiskan waktu malamnya di kamar untuk membaca buku atau menonton film kesukaannya, siap-siap saja sepulang dari kantor tidak ada lagi teman yang membersamaimu membeli sayur dan lauk apa yang akan kalian santap untuk makan malam da

Ghirah-Cemburu karena Allah

Ghirah bukan hanya milik orang Islam yang sering dicap fanatik oleh bangsa Barat karena kebertahanannya dalam menjaga muruah pada diri, keluarga, maupun agamanya. Namun, ghirah atau syaraf (Arab) juga milik setiap jiwa manusia, bahkan masing-masing daerah atau negara memiliki istilah sendiri untuk menyebutnya. Ghirah juga milik Mahatma Gandhi—yang terkenal berpemahaman luas dan berprikemanusiaan tinggi—yang sampai bersedia melakukan apa saja untuk mencegah adik Yawaharlal Nehru, Viyaya Lakshmi Pandit, dan anaknya, Motial Gandhi, keluar dari agama Hindu. Ghirah atau cemburu ada dua macam, yakni terhadap perempuan dan agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang lain, lalu orang itu kamu pukul, pertanda padamu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabimu, dan kitabmu dihina, kamu berdiam diri saja, jelaslah ghirah telah hilang dari dirimu. Jika ghirah atau siri—dalam bahasa orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja—tidak dimiliki lagi oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijaj