Langsung ke konten utama

Ghirah-Cemburu karena Allah

Ghirah bukan hanya milik orang Islam yang sering dicap fanatik oleh bangsa Barat karena kebertahanannya dalam menjaga muruah pada diri, keluarga, maupun agamanya. Namun, ghirah atau syaraf (Arab) juga milik setiap jiwa manusia, bahkan masing-masing daerah atau negara memiliki istilah sendiri untuk menyebutnya. Ghirah juga milik Mahatma Gandhi—yang terkenal berpemahaman luas dan berprikemanusiaan tinggi—yang sampai bersedia melakukan apa saja untuk mencegah adik Yawaharlal Nehru, Viyaya Lakshmi Pandit, dan anaknya, Motial Gandhi, keluar dari agama Hindu.
Ghirah atau cemburu ada dua macam, yakni terhadap perempuan dan agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang lain, lalu orang itu kamu pukul, pertanda padamu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabimu, dan kitabmu dihina, kamu berdiam diri saja, jelaslah ghirah telah hilang dari dirimu.
Jika ghirah atau siri—dalam bahasa orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja—tidak dimiliki lagi oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijajah oleh asing dalam segala sisi. Jika ghirah telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan tiga lapis. Sebab, kehilangan ghirah sama dengan mati!


Modernisasi dan westernisasi adalah dua istilah yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Keduanya adalah pintu masuk dari al-ghazwul fikri yang ingin mengubah cara berpikir umat Islam dari dasarnya dan menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya. Semua yang datang dari Barat ditiru agar dibilang modern dan tidak ketinggalan zaman. Pakaian perempuan yang diselubungi dengan kain sarung warna-warni kini tidak ada lagi, hanya tinggal sejarah, bahkan di seluruh Indonesia datang zaman transisi. Semua berlomba mengikuti budaya Barat. Para pemuda pun berani mendekati perempuan karena ada tanda mau didekati.
Keberanian dalam mempertahankan muru`ah untuk mem¬bela malu terhadap agama dan perempuan kian lama kian berkurang. Bahkan, mungkin kian lama kian habis, hanya tinggal cerita saja. Penyebab orang-orang tidak berani lagi memper¬tahankan muru`ah saat saudara perempuan mereka diganggu orang lain adalah karena diri mereka sendiri pun telah mengganggu saudara perempuan orang lain.
Beberapa contoh di atas secara eksplisit diangkat oleh Buya Hamka dalam tulisan beliau yang bertema ghirah (cemburu). Menurutnya, dengan ghirah-lah dakwah Islam akan tetap hidup. Dengan ghirah pula kehormatan seorang perempuan akan terjaga. Jika ada pihak yang secara sengaja berusaha mengganggu keduanya (agama dan perempuan), ghirah kita harus mendorong untuk berbuat sesuatu.
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) hadir kembali dengan buku berjudul Ghirah: Cemburu karena Allah. Karyanya ini merupakan salah satu dari sekian banyak karya terbaiknya yang mengkaji fenomena-fenomena sosial yang terjadi di Indonesia, khususnya yang berkaitan erat dengan nilai-nilai Islam.
Dalam buku yang terdiri dari tiga bahasan ini—Ghirah, al-Ghazwul Fikri, dan Siri—beliau berpesan, “Dan apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umat Islam itu. Kocongkan kain kafannya, lalu masukkan ke dalam keranda dan antarkan ke kuburan.”
Semoga buku ini dapat memberikan manfaat untuk pembaca, dan memiliki nilai di sisi Allah SWT. Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan, Allahlah Yang Mahabenar dan Pemilik Kebenaran. Selamat membaca 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Seberapa Berani Anda Membela Islam"

Judul : Seberapa Berani Anda Membela Islam Penulis : Na’im Yusuf Tebal Buku : 288 Halaman Penerbit : Maghfirah Pustaka Tahun Terbit : 2016 Orang-orang yang beriman harus sadar bahwa kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kebatilan akan selalu bertentangan. Untuk itu, dibutuhkan orang-orang yang beriman yang menyadari posisinya. Demikianlah juga dengan keteguhan hati, jihad, dan kekuatan jiwa harus dimiliki agar kita sebagai umat Islam bisa melepaskan diri dari konspirasi yang telah dirancang untuk menghancurkan Muslim dan membasmi asas ajaran Islam dari akar-akarnya. Kemuliaan yang sebenarnya, yakni jika keberanian bersemayam dalam diri seorang Muslim, yang mana ia akan menolak kehidupan yang hina, tidak mau dilecehkan dan direndahakn dalam keadaan apa pun. Melalui buku yang berisi 13 karakter pemberani ini, penulis menguraikan dengan rinci mengenai ciri-ciri seorang pemberani, bagaimana agar menjadi pemberani, bentuk-bentuk keberanian, dan tantangan yang harus dihadapi par

Cahaya Hikmah DwiNA

Aku yang harus pergi lebih dulu dari kalian. Doa terbaik mengiringi kepergianku nanti untuk kalian sahabat yang selalu ada untukku. Kalian rekan yang paling mengerti sekaligus kakak yang pandai memperlakukanku penuh cinta. Suatu saat aku akan rindu suasana ini. Suatu pagi aku akan mengenang masa menyambut mentari dalam balutan kasih dan panggilan lembut untuk menghadap-Nya bersama kalian. Keriuhan menjelang keberangkatan kita ke kantor, kebersamaan kita ke kantor, kepulangan kita dari kantor, kelezatan menikmati makan malam yang selalu ala kadarnya yang penting tidak lapar dan bahagia (ini lebay) hingga keautisan kita mengurus diri masing-masing selepas Isya adalah memori yang mungkin akan susah hilang nantinya. Ratih yang ‘gila’ sekali dengan buku dan menghabiskan waktu malamnya di kamar untuk membaca buku atau menonton film kesukaannya, siap-siap saja sepulang dari kantor tidak ada lagi teman yang membersamaimu membeli sayur dan lauk apa yang akan kalian santap untuk makan malam da